Saturday 16 November 2013

Tugas Agama (Islam,Sains, dan Teknologi)





Islam dan sains


Membicarakan persoalan sains dan agama, kita akan sampai pada pembahasan mengenai interaksi sains dan agama pada level simbolik sekaligus maknawi. Secara geneologis kita bisa melihat kompleksitas interaksi agama dan sains pada perdebatan antara dimensi keimanan yang dipahami secara tekstual dan paham ilmu yang meminggirkan doktrin agama karena kerap dianggap tidak sesuai dengan dalil-dalil akal sehat. Padahal ilmu dan agama lahir dari rahim yang sama yaitu wilayah “pengalaman” kemanusiaan. Pengalaman yang dimaksud bisa bersifat حصولىmaupun حضورى.

Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan yang lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, dan peran yang dimainkan oleh ilmuwan.

Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan, ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif. Agama dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan.

Di sisi lain, banyak filsuf ilmu pengetahuan berpikir sebaliknya. Thomas S. Kuhn menegaskan ilmu yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, mirip dengan perspektif sekuler pada agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa itu hanyalah sebuah komitmen untuk universalitas yang melindungi terhadap subyektivitas dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan detasemen pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi metode ilmiah.

Polanyi lebih lanjut menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat pribadi dan karenanya ilmuwan harus melakukan sangat pribadi jika tidak perlu berperan subjektif ketika melakukan sains. Hal yang sama juga ditegaskan oleh dua fisikawan, Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling, keduanya mengklaim bahwa "metode sains dan agama memiliki banyak kesamaan". Schilling menegaskan bahwa kedua bidang-sains dan agama-memiliki "tiga struktur-pengalaman, interpretasi teoritis, dan aplikasi praktis".Kita mengakui bahwa sains dan teknologi memang telah mengambil peranan penting dalam pembangunan peradaban material manusia. Penemuan-penemuan sains dan teknologi telah memberikan bermacam-macam kemudahan pada manusia.Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, maka syariatnya bukan saja mendorong manusia untuk mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan membina peradaban, bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan baik di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.Menyikapi hal tersebut, Ian G. Barbour yang merupakan seorang fisikawan-cum-agamawan, mengusulkan empat potensi model tentang hubungan sains-agama. Yaitu, konflik, independensi, dialog dan integrasi. Sementara bagi Barbour, tampaknya perlu melakukan advokasi tentang Integrasi, dengan asumsi bahwa kedua disiplin ilmu dan agama bisa saling mendapatkan manfaat dari pendekatan-pendekatan tertentu. Dengan demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru (untuk sains dan/atau agama), yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan. Dalam kasus paradigma epistemologi Islam, integrasi antara agama dan sains adalah sesuatu yang mungkin adanya, karena didasarkan pada gagasan Keesaan (tauhid).

Dalam hal ini, ilmu pengetahuan, studi tentang alam, dianggap terkait dengan konsep Tauhid (Keesaan Tuhan), seperti juga semua cabang pengetahuan lainnya. Dalam Islam, alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari pandangan holistik Islam pada Tuhan, kemanusiaan, dan dunia.Manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan kesempurnaan akal pikirannya, di dalam ajaran Islam, dianjurkan untuk membaca ayat-ayat yang tersirat lewat fenomena dan keteraturan alam. Dengan kajian-kajiannya yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan dan teraplikasi dalam wujud teknologi, kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan sejahtera.

Dengan mengetahui dan merenungi berbagai keteraturan dan fenomena alam yang ada akan menimbulkan keimanan, ketakwaan, dan kesadaran rohaniyah dalam diri manusia bahwa betapa kecilnya makhluk manusia dan betapa besarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta serta segala isinya.Di bawah pengaruh Islam, sains tumbuh subur dan mempunyai sebuah bentuk yang unik. Sarjana-sarjana Eropa Utara yang berkultur Latin benar-benar bersimpul di depan ilmuan-ilmuan Muslim di Spanyol dan di pusat-pusat peradaban Islam di sepanjang pantai Laut Tengah, untuk mempelajari dasar-dasar sains dan aspek-aspek lain dari prestasi Islam. Barulah pada abad keenam belas sains dan teknologi Eropa bisa menyamai keunggulan Islam itu.Tradisi sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum Muslimin betul-betul unik, namun keunikan itu tak hanya terletak di dalam metodologinya tetapi juga di dalam epistemologinya. Epistemologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai pengetahuan.

Di dalam konsep ini tidak terdapat perpisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai. Pengetahuan dikaitkan dengan fungsi sosialnya dan dipandang sebagai sebuah ciri dari manusia.

Dengan demikian terdapatlah sebuah kesatuan antara manusia dengan pengetahuannya. Tidak ada informasi-informasi khusus yang bebas-nilai untuk tujuan-tujuan tertentu. Tidak ada perendahan martabat manusia, pengisolasian dan pengasingan manusia.

Obsesi terhadap sains dan teknologi dengan menyampingkan nila-nilai moral dan spiritual yang dijunjung tinggi merupakan salah satu kemalangan terbesar di zaman kita ini. Kemalangan itu lebih besar lagi jika obsesi tersebut menyangkut kekuasaan material semata. Meskipun khususnya selama paruh terkhir abad ini terjadi kemerosotan iman secara perlahan di tengah kemampuan mukjizat sains dan teknologi untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menggoncangkan, apalagi untuk menciptakan surga di bumi, seiring dengan semakin banyak efek-efek destruktif penemuan sains dan teknologi yang dapat dilihat, perkembangan sains dan teknologi terus dibentuk oleh mereka yang mengakui atau mengikuti garis pemikiran di atas.Salah satu upaya untuk menyeimbangan Islam dan sains yakni dengan melakukan Islamisasi sains. Islamisasi sains dalam hal ini adalah dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaitkan kembali sains dengan agama, yang berarti mengingatkan kembali hukum alam (sunatullah) dengan Al-Qur’an yang keduanya pada hakikatnya merupakan ayat-ayat keagungan Tuhan.Dilihat dari ketiga aspeknya ontologi, epistemologi, dan aksiologinya diskursus keilmuan Islam klasik secara umum jelas-jelas merupakan suatu karya hasil upaya islamisasi. Karena itu, tepatlah apabila Lapidus sampai pada suatu kesimpulan bahwa hasil konfigurasi kebudayaan yang dilakukan Islam itu tanpa diragukan adalah murni dan islami.Jika dilihat dari segi ontologinya, ilmu yang ada dalam Islam meliputi tiga klasifikasi ilmu, yakni ilmu kealaman, humaniora, dan ilmu sosial. Ilmu alam, contentnya netral.

Dengan demikian, ilmu itu tidak perlu diislamkan. Para ilmuan muslim malah mengembangkan ilmu yang didapatnya dari beragam sumber itu secara kreatif sehingga tidak sedikit temuan-temuan yang disumbangkannya.Adapun mengenai ilmu humaniora termasuk didalamnya filsafat meskipun tampaknya tidak terlalu berbeda dengan yang ada di masa Yunani, tetapi hal-hal yang dibahas ditemukan akarnya dalam al-Qur’an.Sementara bila ditinjau dari segi epistemologi atau metode ilmu yang dipergunakannya, keilmuan Islam klasik menurut Nasr menggunakan metode pluralistik. Bagi Anees, seperti dikutip Kirmani, ilmu pengetahuan abad pertengahan bukan antitesis untuk reduksionalisme, tetapi antitesis yang metodologinya menekankan pada keseimbangan, sintesis, memperlakukan reduksionalisme bukan sebagai ideologi melainkan hanya sebagai satu metode di antara seluruh kesatuan metode.Menurut Sardar, interelasi ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi Islam. Pencarian ilmu bukan wajib dalam dirinya, tetapi merupakan suatu bentuk ibadah dan berhubungan dengan setiap nilai Al-Qur’an seperti khilafah, ‘adl, dan istishlah.

Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan penekanannya pada kesatuan ilmu dan nilai, material dan metafisik, menyebabkan ilmu Islam itu unik sifatnya.Kemudian dari segi aksiologinya, jelas bahwa Islam sangat mementingkan nilai dalam ilmu yang dikembangkannya. Situasi sekarang, kata Nasr, berbeda dengan keadaan abad ke-3 H/ 9 M yakni yang berhubungan dengan kekuasaan. Pada masa lalu tantangan kaum muslimin semata-mata intelektual. Di belakangnya tidak ada kekuatan militer, politik ataupun ekonomi.


Islam dan teknologi


Hukum Moore yang diperkenalkan oleh Gordon E. Moore mengatakan bahwa, kompleksitas suatu kecepatan mikroprosesor akan meningkat dua kali lipat setiap 18 bulan sekali. Perkembangan sekarang dengan teknologi nano, semakin meningkatkan kompleksitas mikroprosesor dalam waktu yang lebih singkat. Berpijak pada Hukum Moore, para peniliti di dunia industri telekomunikasi dan aplikasi komputer akan terus meningkatkan produknya sesuai dengan material yang dibutuhkan prosesor yang terus memiliki kemampuan yang semakin tinggi. Semakin meningkatnya kompleksitas prosesor dalam waktu yang semakin singkat, maka akan diikuti oleh semakin meningkatnya perkembangan teknologi yang lain, dan hampir semua teknologi modern menggunakan komputer dan prosesor.


Gambaran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang empiris tersebut menjadi tantangan bagi banyak agama, terutama Islam untuk terus menyesuaikan diri dan menunjukkan bahwa tradisi masih relevan untuk hari ini ( al-Islam al-shalih li kulli zaman wa makan). Walapun, perkembangan teknologi dan agama bukanlah suatu yang harus terus dipertentangkan relevansinya, karena pada dasarnya keduanya bersumber dari nilai yang sama. Federick Ferre dalam bukunya Technology and Religion (2006), memahamkan teknologi sebagai implementasi praktis dari kecerdasan, yang merupakan suatu materi untuk mengekspresikan nilai-nilai. Itulah mengapa teknologi berhubungan dengan agama, secara positif, negatif atau netral, karena agama juga merupakan nilai dan ide.


Sikap Terhadap Perkembangan Teknologi


Menempatkan Islam sebagai yang shalih li kulli zaman wa makan membawa perdebatan dalam dunia Islam, yaitu bagaimana berurusan dengan dengan ilmu pengetahuan modern tanpa menyerah pada godaan saintisme sekuler (Guiderdoni, 2003). Saintisme yang bersumber dari Barat menimbulkan sikap yang negatif terhadap teknologi dengan menuding sebagai produk kapitalis, bid’ah, dan sekuler. Osman Bakar dalam Islamic Perspectives:Encyclopedia of Science, Technology, and Ethics (2005) menyatakan masalah etika tersebut terjadi pada etika Islam Tradisional yang dihadapkan pada isu-isu pengetahuan dan teknologi yang bukan merupakan hasil karya muslim sendiri.


Permasalahan lain tentang sikap Islam terhadap perkembangan teknologi adalah, tentang masa depan sains yang semakin logis dan teknologi yang semakin praktis, sehingga Islam sering dipaksa untuk mempertimbangkan secara serius nilai-nilai keyakinan dan tujuan keagamaan agar berjalan selaras dengan nilai-nilai dan keyakinan dari ilmu pengetahuan dan teknologi.


Seperti yang ditulis oleh Osman Bakar (2005) bahwa, kita sebagai umat Islam memiliki sikap yang tidak menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai yang paling penting dari semua cabang pengetahuan, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang Eropa dan Amerika Utara. Mereka memandang ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya dasar pengetahuan yang dapat diandalkan dan memandang teknologi sebagai cara terbaik untuk memecahkan masalah manusia. Memang, dalam prespektif Islam ilmu pengetahuan tidak pernah bisa menggantikan metafisika dan teologi, dan teknologi tidak pernah bisa menggantikan syari’ah sebagai penyedia terbaik dan solusi untuk masalah individu dan masalah sosial manusia. Muslim menempatkan baik itu syari’ah atau ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai seuatu yang diperlukan untuk keselamatan masyarakat, dan keduanya harus bergabung dalam frame etika dan hukum syari’at. Syari’ah, yang terutama didasarkan pada ajaran Qur’an dan hadits, dianggap oleh umat Islam menjadi sumber yang paling penting dari nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip untuk membimbing tindakan manusia. Islam menempatkan batasan ketat pada teknologi dengan syara’ dan menyesuaikannya untuk kepentingan praktis. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT.


Islam dan Motivasi Pentingnya Pengembangan Teknologi


Tradisi Islam menekankan pencarian pengetahuan (‘ilm), bahkan dalam hadits pencarian pengetahuan itu hukumnya wajib dan dituntut untuk mencari sejauh mungkin hingga sampai ke negeri China. Tradisi itu ditopang oleh sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Quraisyi Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an juga menuliskan bahwa kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.


Dalam Islam, teknologi berfungsi sebagai kemudahan untuk membantu melakukan aktifitas manusia yang bermanfaat ( QS. 21:107), alat untuk mengeksplorasi (QS. 55:33), alat untuk kemajuan dakwah dan kemajuan Islam ( QS. 8:60), dan sebagai sarana untuk lebih mengenal Allah (QS. 88: 17-21), (QS.41:53). Tentunya segala penggunaan tegnologi tersebut jangan sampai berakibat pada rusaknya alam ( QS. 30:41).


Selain beberapa ayat Al-Qur’an di atas, banyak konsep yang diturunkan oleh banyak tokoh Muslim yang peka melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti Ismail Raji Al-Faruqi dengan konsep islamisasi ilmu pengetahuan, Fazlur Rahman dengan Islamisasi penuntut ilmu, Sayyid Hossein Nasr dengan sains Islam, dan masih banyak lagi. Namun, di bulan Ramadhan ini marilah kita berefleksi secara mandiri untuk kembali memotivasi diri tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi, sebagaimana ayat pertama yang turun pada Bulan Ramadhan ini adalah perintah untuk membaca (Iqra’). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. 96:1-5).


Kaitannya dengan teknologi , Islam adalah agama, masyarakat, dan peradaban. Ketiga pengertian itu, Islam adalah sumber perspektif unik yang mempunyai hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan etika. Sebagai sebuah agama, Islam menjunjung tinggi pengetahuan sebagai kunci untuk keselamatan, baik itu keselamatan individu maupun keselamatan sosial. Sebagai sebuah peradaban, Islam berusaha untuk mempromosikan kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan li al-alamin) dengan meletakkan diri pada suatu perspektif yang universal, berpijak pada kemaslahatan bersama dan toleransi dengan pemeluk agama lain.

Ratusan ayat Al-Qur’an yang banyak memotivasi tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi itu diantaranya adalah perintah untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan di bumi ( QS. 9:101), tantangan untuk menggunakan teknologi dalam menjelajah penjuru langit (QS. 55:33), teknologi pembuatan bahtera oleh nabi Nuh (QS. 11:38), penciptaan langit dan bumi dan bergantianya siang malam merupakan tanda bagi orang yang berakal (QS. 3: 190), ilmu pengetahuanlah yang membuat Nabi Adam lebih unggul daripada para malaikat yang kemudian disuruh untuk sujud ( QS. 2:31), motivasi untuk mencari ilmu (QS.20:114), beberapa fenomena alam (QS. 2: 164) dan masih banyak lagi ayat lain yang menganjurkan dan menjelaskan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an juga berulang kali memerintahkan kita untuk selalu menggunakan akal pikiran kita, afalaa taqiluun, afalua tazakkaruun. Ayat-ayat qauliayah tersebut memerintahkan kita untuk membaca fenomena alam atau yang disebut ayat kauniyyah, tanda-tanda kebesaran Allah SWT di alam semesta. Prespektifnya ialah untuk menegaskan keunikan Ilahi yang menjamin kesatuan pengetahuan yang benar antara pengetahuan agama dengan sains dan teknologi yang mengarah kembali kepada Allah SWT.

0 komentar:

Post a Comment